Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi berdampak pada peredaran pornografi di masyarakat. Pornografi kini sesuatu yang mudah dan murah untuk diperoleh. Sudah menjadi hal umum, 80 persen lebih pria cenderung mengonsumsi pornografi dibanding wanita.Sebuah studi mengungkap, konsumsi pornografi yang berlebihan dapat merusak dan meninggalkan efek adiktif. Hal tersebut dapat merusak fungsi seksual normal yang akan merusak kenikmatan saat berhubungan karena mereka akan cenderung kehilangan daya tarik erotis pasangan mereka.
Naomi Wolf, seorang kritikus sosial dan aktivis politik, mengatakan pada tulisannya 'The porn Myth' dari penelitiannya telah menunjukkan peningkatan konsumsi pornografi di kalangan pria muda dengan peningkatan impotensi dan ejakulasi dini di kalangan populasi yang sama.
"Kesimpulan dari para ahli mengatakan bahwa secara bertahap pornografi mengurangi sensivitas pria akan seks," tulisnya.
Sebuah surveyi terbaru yang dilakukan BBC Radio One Newsbeat bekerja sama dengan dokter-dokter dari Portman Clinic memberikan hasil yang mengejutkan.
Terdapat 1000 orang dengan rentang usia 18 hingga 24 tahun yang ikut serta dalam survei tersebut. Hasilnya, delapan dari 10 pria mengakses situs porno di internet dibandingkan wanita yang hanya 1/3 di antaranya. Pria biasanya menghabiskan rata-rata 2 jam per minggu, sedangkan wanita hanya 15 menit.
Sementara itu, 61 persen mengatakan bahwa mereka lebih cenderung akan menunda aktivitas seks mereka untuk menonton film porno terlebih dahulu, 27 persen secara moderat, dan 24 persen hanya pengguna ringan.
Dr Heather Wood, dari Portman Clinic, mengatakan bahwa menonton dalam waktu hanya sejam memiliki dampak yang menakutkan.
Studi ini menemukan pecandu berat, yaitu empat dari lima yang menonton konten erotis selama 10 jam per minggu, lebih mungkin memiliki perilaku bermasalah dan kompulsif.
"Mereka yang menghabiskan sejumlah besar waktu untuk mengakses porno tidak lagi menikmati kehidupan seks yang nyata," ujarnya pada BBC.
Para peneliti mengatakan bahwa pornografi telah merasuki secara emosional, koneksi biologis dan kimia di seluruh otak dan tubuh. Selain itu, gairah akibat pornografi yang mengarah pada pelepasan dopamin, oksitoksin, serotonin, dan norepineprin secara alami dapat menjadi candu berbahaya.
"Efek dopamin menjelaskan mengapa pornografi cenderung menjadi lebih dan lebih ekstrim dari waktu ke waktu. Gambar seksual pada akhirnya akan kehilangan kekuatan mereka, dan menyebabkan konsumen membutuhkan gambar yang lebih vulgar, hanya untuk memuaskan hasrat semata," tulis Wolf.
Selain itu, masih tulis Wolf, beberapa pria dan wanita memiliki 'lubang dopamin' pada otak mereka sehingga mereka lebih cenderung kecanduan pada porno yang lebih ekstrim.
"Jalur saraf identik dengan pemicu rasa candu sama seperti saat mencandu kokain," tulisnya.
Bahkan, menurut penelitian yang dilakukan oleh Master online Business Administration, industri porno dapat menghasilkan $4.9 juta di seluruh dunia.
Menurut blogger feminis, Sady Doyle, konsumsi porno pada pria dapat 'memaksa' wanita untuk lebih tunduk pada keinginan seks pasangan mereka. Sedangkan, wanita kerap kali sulit mengatakan tidak pada keinginan 'aneh' pasangannya. Bahkan, terkadang hal ini dapat memicu pemerkosaan secara mental bagi kaum wanita.
"Menempatkan semua tanggung jawab yang tidak memiliki keinginan, terutama jika mereka itu adalah wanita, benar-benar mereproduksi sarana penindasan bagi wanita," ujarnya.
Naomi Wolf, seorang kritikus sosial dan aktivis politik, mengatakan pada tulisannya 'The porn Myth' dari penelitiannya telah menunjukkan peningkatan konsumsi pornografi di kalangan pria muda dengan peningkatan impotensi dan ejakulasi dini di kalangan populasi yang sama.
"Kesimpulan dari para ahli mengatakan bahwa secara bertahap pornografi mengurangi sensivitas pria akan seks," tulisnya.
Sebuah surveyi terbaru yang dilakukan BBC Radio One Newsbeat bekerja sama dengan dokter-dokter dari Portman Clinic memberikan hasil yang mengejutkan.
Terdapat 1000 orang dengan rentang usia 18 hingga 24 tahun yang ikut serta dalam survei tersebut. Hasilnya, delapan dari 10 pria mengakses situs porno di internet dibandingkan wanita yang hanya 1/3 di antaranya. Pria biasanya menghabiskan rata-rata 2 jam per minggu, sedangkan wanita hanya 15 menit.
Sementara itu, 61 persen mengatakan bahwa mereka lebih cenderung akan menunda aktivitas seks mereka untuk menonton film porno terlebih dahulu, 27 persen secara moderat, dan 24 persen hanya pengguna ringan.
Dr Heather Wood, dari Portman Clinic, mengatakan bahwa menonton dalam waktu hanya sejam memiliki dampak yang menakutkan.
Studi ini menemukan pecandu berat, yaitu empat dari lima yang menonton konten erotis selama 10 jam per minggu, lebih mungkin memiliki perilaku bermasalah dan kompulsif.
"Mereka yang menghabiskan sejumlah besar waktu untuk mengakses porno tidak lagi menikmati kehidupan seks yang nyata," ujarnya pada BBC.
Para peneliti mengatakan bahwa pornografi telah merasuki secara emosional, koneksi biologis dan kimia di seluruh otak dan tubuh. Selain itu, gairah akibat pornografi yang mengarah pada pelepasan dopamin, oksitoksin, serotonin, dan norepineprin secara alami dapat menjadi candu berbahaya.
"Efek dopamin menjelaskan mengapa pornografi cenderung menjadi lebih dan lebih ekstrim dari waktu ke waktu. Gambar seksual pada akhirnya akan kehilangan kekuatan mereka, dan menyebabkan konsumen membutuhkan gambar yang lebih vulgar, hanya untuk memuaskan hasrat semata," tulis Wolf.
Selain itu, masih tulis Wolf, beberapa pria dan wanita memiliki 'lubang dopamin' pada otak mereka sehingga mereka lebih cenderung kecanduan pada porno yang lebih ekstrim.
"Jalur saraf identik dengan pemicu rasa candu sama seperti saat mencandu kokain," tulisnya.
Bahkan, menurut penelitian yang dilakukan oleh Master online Business Administration, industri porno dapat menghasilkan $4.9 juta di seluruh dunia.
Menurut blogger feminis, Sady Doyle, konsumsi porno pada pria dapat 'memaksa' wanita untuk lebih tunduk pada keinginan seks pasangan mereka. Sedangkan, wanita kerap kali sulit mengatakan tidak pada keinginan 'aneh' pasangannya. Bahkan, terkadang hal ini dapat memicu pemerkosaan secara mental bagi kaum wanita.
"Menempatkan semua tanggung jawab yang tidak memiliki keinginan, terutama jika mereka itu adalah wanita, benar-benar mereproduksi sarana penindasan bagi wanita," ujarnya.
Post a Comment