Raja Tut bisa dibilang adalah firaun paling populer. Para ilmuwan berusaha menebak mengapa ia mati muda. Salah satu dugaan yang muncul adalah bahwa Raja Tut meninggal akibat malaria dan kelainan tulang, itulah hasil dari analisa DNA mumi terkini.
Firaun Tutankhamun adalah firaun paling populer. Ia merupakan bagian dari dinasti ke-18 dari Kerajaan Baru Mesir, yang bertahan kira-kira dari 1550 – 1295 SM. Firaun cilik itu meninggal pada tahun kesembilan dari pemerintahannya, sekitar 1324 SM, pada usia 19 tahun.
Karena Tutankhamun mati muda dan tak memiliki ahli waris, maka muncul banyak spekulasi tentang kematiannya, termasuk tentang penyakit menurun di keluarga kerajaan tersebut.
Analisa DNA mumi termutakhir mencoba mendeteksi tanda-tanda penyakit – baik yang sifatnya menurun atau bukan – yang mungkin menyebabkan tewasnya Raja Tut. Tes DNA juga telah memberi kepastian lebih tentang identitas dan korelasi beberapa mumi yang sebelumnya ditemukan, dua diantaranya diduga orang tua Raja Tut.
Dari barang-barang peninggalan diduga bahwa keluarga raja di masa itu memiliki ciri-ciri yang agak kemayu atau androgynous, alias penampilannya tak jelas apakah pria atau wanita. Bahkan diduga adanya kelainan gynecomastia, yaitu pembesaran buah dada pada pria yang biasanya disebabkan oleh ketidakseimbangan hormon; dan sindrom Marfan, yaitu sindrom dimana para penderitanya memiliki tangan dan kaki yang abnormal panjangnya, jemarinya sangat ramping, dan biasanya mereka juga menderita kelainan jantung.
“Tapi kebanyakan diagnosa penyakit ini disimpulkan dari pengamatan artefak, dan bukan dengan mempelajari sisa mumi keluarga bangsawan,” kata seorang ilmuwan yang ikut dalam analisa itu.
Zahi Hawass, ketua Dewan Tertinggi Kepurbakalaan Kairo, Mesir, dan para koleganya melakukan penelitian untuk menentukan korelasi antara 11 mumi keluarga kerajaan dari masa Kerajaan Baru Mesir, dan juga untuk mencari petunjuk akan adanya penyakit yang diturunkan secara genetis, yang ditularkan, atau akibat hubungan darah.
Para peneliti juga mencari bukti penyebab kematian Tutankhamun. Sejumlah peneliti lain sempat membuat hipotesa bahwa kematiannya akibat luka, septicemia (infeksi aliran darah), atau embolisme lemak (pelepasan lemak ke dalam arteri) setelah terjadinya kerusakan tulang paha, bahkan juga mungkin karena dibunuh dengan pukulan di belakang kepala, atau karena diracun.
Sejak September 2007 hingga Oktober 2009, mumi-mumi bangsawan itu diteliti menyeluruh secara antropologis, radiologis, dan genetika. DNA diambil dua hingga empat kali untuk tiap mumi. Hasil analisa menunjukkan, ternyata tak ditemukan tanda-tanda gynecomastia ataupun sindrom Marfan.
“Penggambaran orang dalam seni di masa Amarna merupakan gaya yang dipesan oleh para bangsawan sendiri, mungkin karena adanya aturan keagamaan dari Akhenaten (yang diduga adalah ayah Tut),” kata sang peneliti.
“Rasanya tak mungkin bila Tutankhamun atau Akhenaten memiliki penampilan yang terlalu feminin. Harus diingat bahwa raja-raja Mesir kuno beserta keluarganya biasanya digambarkan dengan gaya yang di-’ideal’-kan,” tambahnya.
Tapi para peneliti DNA itu memang menemukan sejumlah kejanggalan fisik dalam keluarga Tutankhamun. “Beberapa kelainan terdiagnosa pada Tutankhamun, termasuk kelainan Kohler (kelainan tulang); tapi kejanggalan-kejanggalan itu tidak fatal.”
Bekas genetik parasit penyebab malaria ditemukan pada beberapa mumi tersebut, termasuk pada mumi Raja Tut. Penelitian genetik itu memberi indikasi bahwa terjadi malaria sekaligus dengan kondisi tubuh yang menyebabkan kekurangan darah pada tulang, sehingga bagian tulang tertentu menjadi rusak. Kerusakan tulang itulah yang membunuh Raja Tut.
“Kelumpuhan dan malaria yang diderita Tutankhamun terbukti dari ditemukannya tongkat dan persediaan obat-obatan di makamnya,” kata peneliti.
Harus diingat bahwa orang Mesir cenderung percaya bahwa barang-barang dalam makam akan digunakan pada kehidupan selanjutnya. Para ilmuwan juga menduga bahwa mungkin sang raja terjatuh sehingga kakinya mendadak patah, sehingga kondisi sang raja menjadi kritis, lalu ditambah pula dengan infeksi malaria. Penemuan ini dimuat dalam jurnal American Medical Association edisi 17 Februari.
Post a Comment